CERITA DEWASA MENIKMATI TUBUH SEXY PENARI JALANAN

CERITA DEWASA MENIKMATI TUBUH SEXY PENARI JALANAN


CERITA DEWASA MENIKMATI TUBUH SEXY PENARI JALANAN ,  Hasrat-Bispak15 Semuanya orang didalamnya harus berusaha serta berkorban agar tak tersisih, serta tidak seluruhnya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang tidak banyak yang mengetahui nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, namun maknanya gak hanya itu. Denok pula mempunyai arti montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Periode kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Mulai sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, sebab beliau sendiri waktu muda yaitu seseorang penari, dan masih ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti sewaktu satu hari saya dan Simbok temukan Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak miliki banyak hutang karena edan judi, dan beliau tak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang sendu sebab Bapak telah tak ada, dan juga kebingungan sebab sekian hari sesudah Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil alih biro judi yang memberinya hutang ke Bapak. Kami tidak mempunyai tujuan tempat, serta uang simpanan kami gak berapa. Simbok selanjutnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, semoga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya cuman alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima lantaran dikira pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak penting ijazah, rival sangat banyak. Selanjutnya sesudah cukuplah lama melihat beragam peluang yang ada, Simbok memilih untuk memakai keterampilan kami. Hanya modal baju serta peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awali kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota lagi persiapan ujian akhir SMA atau menjalankan tahun mula kuliah, serta yang di kampung menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya mengawali jalani kehidupan anyar, menawarkan ketrampilan seni tari bersama Simbok. Sebelumnya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, semata-mata cari keramaian di mana kami dapat peroleh beberapa lembar rupiah untuk bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mempelajari jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya tidak enteng  cari uang melalui cara sesuai ini, paling-paling yang kami peroleh cukup untuk makan kami berdua, satu atau kedua kalinya dalam hari itu. Serta gak di semuanya tempat kami dapat mendapatkan pemirsa yang mau bayar, terkadang kami justru ditendang atau dihardik. Seusai lumayan lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat terus bisa pirsawan serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekitarnya. Kami lantas sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, dari kelompok menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah semasing. Hadirnya kami di situ selalu disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meskipun seringkali helai-lembar itu dikasih ke kami oleh kurang santun umpamanya dengan disembunyikan ke kemeja kami. Apa saya serta Simbok memang menarik? Tidak tahu ya. Saya sendiri tidak terasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok pula dari dahulu selalu mengajarkan serta memperingatkan saya buat menjaga badan meskipun secara simple, jadi walau sawo masak, kulit saya masih mulus serta tidak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipikirkan betul pula sich bila dikatakan saya montok. Tak tahu mengapa, walau rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap juga tubuh saya bisa-bisa ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya udah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur hingga saya terus was-was dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pun kuat dikarenakan dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang kira demikian. Bingungnya, kendati atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya bakal jadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu benar-benar elok. Hingga usia begitu lantas beliau terus elok. cerpensex.com Apa lagi jika sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Semuanya orang nengok dan tidak tonton apapun kembali. Saya sendiri selalu terasa tidak baik lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia hanya saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Kecuali Simbok, beberapa orang yang umum menonton kami menari kok segalanya katakan saya elok. Saya pikirkan, ini mah pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertamanya kali didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk sangat. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, sampai lain warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat jadi tebal. Bibir pula diberikan gincu warna merah oke. Saya kala itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita perlu membuat suka yang lihat."


Makin lama saya biasa pula memanfaatkan dandanan semacam itu, jadi saya menjadikan guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari tercipta penganten, nanti jika nikah betulan harus seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sama dengan kemben, kain batik, dan selendang. 


Namun betul-betul yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang ketahui. 2 bulan kami bertempat di dekat Pasar, bencana hadir kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kritis. Saya was-was, beberapa orang di sekeliling beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok gak terbantu. Simbok wafat di rumah sakit seusai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sesungguhnya mulai sejak ketabrak pun Simbok sudah tidak ada keinginan, namun tidak tahu mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Hingga sampai gak sampai hati saya menyaksikannya. Masa itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, maka itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Namun apa itu betul atau tidak, saya tidak ingin tahu, biarkan itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit serta penyemayaman, malahan harus berutang kemanapun. Saya gak dapat melangsungkan acara jenis-jenis buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana dan bertemu kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di sewaan saja lantaran terlampau bersusah-hati. Kemungkinan tiap hari saya menangis, bersusah-hati ingat Simbok, pula kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, karena uang udah habis serta saya pun perlu lawan banyak tukang tagih hutang yang tak mau tahu kesukaran saya . Sehingga, satu minggu setelah Simbok disemayamkan, saya kembali persiapan untuk keluar, menari. Didepan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya supaya tidak terlihat beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, sesuai keluar kamar saya malahan berjumpa dengan ibu yang miliki sewa. Sang ibu tidak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak mempunyai uang, jadi saya sekedar dapat ngomong maaf, dan sang ibu malahan ngancam secara lembut. Tidak apapun gak bayar, ucapnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya pengen upaya dahulu, kata saya, kelak bakal saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA MENIKMATI TUBUH SEXY PENARI JALANAN


Naasnya, hari itu pasar cukup sepi, dan setelah dua jam saya baru bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala sarat dengan ingatan, bagaimana langkahnya agar kelak kalaupun pulang telah memiliki cukup uang buat bayar sewaan. Belum beberapa utang yang lain. Saat siang, saya tengah jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Serta di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan tengah hitung segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya masa itu sekedar mengenal beliau sebagai ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua dibanding Simbok, barangkali umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya berikan kami uang tetapi beliau tak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang pada Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam dan berada di belakang. Tokonya sedang sepi, tak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Namun saya harus ngomong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis untuk ongkos penguburan Simbok… saat ini saya perlu bayar sewa dua bulan…"


"Hah?" Juragan menyaksikan saya dengan aneh, "Kamu butuh uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya telah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang tadi ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang beri hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pula kembali kerja, Juragan," saya dongkol namun tak berani menunjukkan; kayaknya Juragan tidak pingin pinjamkan uang. "Sekedar seramnya saya tak dapat dapat uang ini hari untuk membayar sewa. Jika berjualan, saya tidak mempunyai apapun, perlu jual apa?"


Namun terus tatapan Juragan kok beralih menjadi aneh… Beliau dekati saya dan memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang ngomong kamu tidak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut. WAJIB 4D


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan lagi terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa tujuannya itu.


"Bila kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya perlu uang, tetapi apa perlu melalui cara sebagai berikut? Namun bila gak, bagaimana kembali? Yang ada saya akan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama pula. Saya gak miliki opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali sampai gak terdengaran. Jika saja gak ketutupan bedak, kemungkinan telah terlihat muka saya berganti merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya selalu melihati lantai, tak berani membawa kepala, namun terkadang saya ngintip ke sana-kemari menyaksikan situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang memperlihatkan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memonitor sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari omong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Kemungkinan ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," ujarnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Umumnya sepanjang hari menari saya tak sempat mendapat uang sejumlah itu. Namun saya masih kuatir. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.


"Bila tidak ingin ya telah," ujarnya dengan suara kurang suka.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang hasrat ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, anyar kesempatan ini ada laki laki terang-terangan ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu barusan diletakkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia berikan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tuturnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awalnya saya serta Simbok perlu menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat memperoleh duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya dapat duit sejumlah itu … kok enteng sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tidak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang omong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, serta kainnya melesat demikian saja tanpa ada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan meminta saya membuka  kain batik coklat yang saya gunakan.


Barangkali karena barusan saya malu serta lamban satu kali membuka kemben, Juragan dekati saya serta menyibak kain batik saya. Saya tiba-tiba mundur, namun tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Tidak boleh takut, Denok…" ujarnya.


Juragan pula menggenggam paha saya masih yang sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya lalu nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, dan saya semakin deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya lagi nyibak kain saya, sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, tengah diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya udah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya tampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya masih nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa selayaknya saya lepas pun?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sembari saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, tetapi tidak tahu mengapa, saya pula kok merasa nafsu saya bangun? Aduh? Kok berikut ini jadi? Juragan tak henti menyaksikan sekujur badan saya, sekalian beri pujian.


"Mari donk, tidak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, jika kamu ingin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… pengen pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama